• 1 Project 1
    Suspendisse turpis arcu, dignissim ac laoreet a, condimentum in massa.
  • 2 Project 2
    uisque eget elit quis augue pharetra feugiat.
  • 3 Project 3
    Sed et quam vitae ipsum vulputate varius vitae semper nunc.
  • 4 Project 4
    Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit.

Penegakan Nilai-Nilai Pancasila

| | Comments: (0)



PANCASILA siapa masyarakat Indonesia yang tak kenal dengan nama itu?, Pancasila sendiri dikenal sebagai dasar negara Republik Indonesia, dalam Pancasila disebutkan bahwa Pancasila Ideologi bangsa yang memiliki makna sebagai cita-cita, nilai, dan keyakinan yang ingin diwujudkan secara nyata dan menjadikan ciri bangsa Indonesia. Sebagai dasar negara dan ideologi negara, Pancasila harus dimaknai secara terbuka dan dinamis, serta berkembang sesuai dengan perkembangan masa  modern ini.

Namun dengan berkembangnya zaman yang modern, banyak dari masyarakan Indonesia yang mulai meninggalkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Kesadaran akan kesatuan dan persatuan, solidaritas, dan toleransi mulai dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Paling banyak yang melakukan tindakan yang berlawanan dengan nilai-nilai Pancasila yaitu kalangan remaja.


Kami dari mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta membuat Gerakan Mahasiswa Penegak Pancasila (GMPP) yang bertujuan untuk mengingatkan kembali tentang nilai-nilai dalam Pancasila yang harus tetap dijaga. Dalam kegiatan ini yang ingin kami jadikan objek yaitu segenap masyarakat yang sedang melakukan kegiatan Car Free Day di Bundaran Hotel Indonesia (HI) dan disekitaran Jalan MH. Tamrin.

Kami segenap mahasiswa Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta melakukan gerakan mahasiswa penegak Pancasila karena kami sadar mulai pudarnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat. Kami mengorasikan bagaimana menjalani toleransi beragama sebagaimana yang terdapat dalam sila pertama yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”, serta hidup dengan saling membantu dalam bermasyarakat agar terciptanya ketentraman dan tidak membeda-bedakan warna kulit, tingkat ekonomi, dan suku sebagaimana disebutkan dalam sila kedua yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, untuk sila ketiga yang berbunyi “Persatuan Indonesia” dengan menjunjung tinggi nama baik bangsa Indonesia dan dengan mempertahankan budaya bangsa, untuk sila keempat yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”  yaitu dengan selalu mengedepankan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sedang kan untuk sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengaplikasikannya dengan cara menghormati hak dan kewajiban orang lain, dan ikut serta dalam pemilihan umum.

Dari kegiatan tersebut diharapkan masyarakat akan lebih peduli dan mengerti betapa pentingnya mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dimasa modern ini, terutama untuk kalangan remaja yang saat ini mulai tidak menghargai budaya bangsa sendiri. Jika bukan kita yang menjaga Ideologi bangsa kita sendiri maka siapa lagi yang akan menjaganya ?   

“Eko Agus Saputro”

Memakai Celana Ketat dalam Shalat

| | Comments: (0)

Memakai Celana Ketat dalam Shalat
Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang yang hendak shalat untuk berhias diri sebagaimana dalam firman-Nya,

يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al A’rof: 31). Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang hendak shalat diperintahkan untuk berhias diri. Tidak seperti halnya sebagian orang yang ketika shalat malah menggunakan pakaian tidur atau pakaian kerjanya (yang penuh kotor) dan tidak berhias diri kala itu. Ingatlah bahwasanya Allah itu jamiil (indah) dan menyukai yang indah.

Para ulama menganggap bahwa batasan minimal berhias diri (saat shalat) yang dimaksudkan adalah menutup aurat[1]. Oleh karena itu, para ulama biasa menyebutkan bahwa menutup aurat merupakan salah satu syarat sah shalat. Shalat jadi tidak sah karena aurat terbuka. Konsekuensi dari pernyataan wajibnya menutup aurat yaitu yang penting tertutup meskipun pakaian yang dikenakan ketat atau membentuk lekuk tubuh, dan ketika itu shalatnya tetap sah. Demikianlah yang jadi pegangan para ulama madzhab dan ulama besar lainnya. Berikut kami nukilkan pendapat-pendapat mereka.

Madzhab Hanafi

Ibnu ‘Abidin rahimahullah dalam catatan kakinya (hasyiyah-nya) terhadap kitab Ad Darul Mukhtar mengatakan,

( ولا يضر التصاقه ) أي : بالألية مثلا

“Tidak mengapa memakai pakaian yang ketat yang menampakkan bentuk bokong, misalnya.” Dalam Syarh Al Maniyyah disebutkan,

أما لو كان غليظا لا يرى منه لون البشرة إلا أنه التصق بالعضو وتشكل بشكله فصار شكل العضو مرئيا ، فينبغي أن لا يمنع جواز الصلاة ، لحصول الستر

“Adapun jika pakaian yang dikenakan itu tebal dan tidak tampak warna kulit, namun pakaian tersebut ketat dan menampakkan bentuk anggota tubuh, maka seperti ini janganlah dilarang untuk shalat karena pakaian tersebut sudah menutupi aurat.” [2]

Madzhab Syafi’i

An Nawawi rahimahullah berkata,

فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر

“Jika pakaian yang dikenakan telah menutupi warna kulit dan bentuk lekuk tubuh seperti bentuk paha atau bokong dan semacamnya masih tampak, maka shalatnya tetap sah karena aurat sudah tertutup. Sedangkan Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan memiliki pendapat lain, bahwa dalam kondisi demikian shalatnya tidak sah karena menampakkan bentuk lekuk tubuh. Namun pernyataan ini jelas keliru.”[3]

Madzhab Maliki

Dalam salah kitab fiqh Maliki, Al Fawakih Ad Dawani disebutkan,

( وَيُجْزِئُ الرَّجُلَ الصَّلاةُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ) وَيُشْتَرَطُ فِيهِ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ كَوْنُهُ كَثِيفًا بِحَيْثُ لا يَصِفُ وَلا يَشِفُّ ، وَإِلا كُرِهَ وَكَوْنُهُ سَاتِرًا لِجَمِيعِ جَسَدِهِ . فَإِنْ سَتَرَ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ فَقَطْ أَوْ كَانَ مِمَّا يَصِفُ أَيْ يُحَدِّدُ الْعَوْرَةَ . . . كُرِهَتْ الصَّلاةُ فِيهِ مَعَ الإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ

“Dibolehkan bagi seseorang shalat dengan satu pakaian. Disyaratkan di dalamnya dengan maksud disunnahkan, yaitu pakaiannya hendaknya tebal, tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh, dan tidak pula tipis. Jika tidak demikian, maka hal itu dimakruhkan. Jadi hendaknya seluruh aurat tertutup. Jika aurat tertutup dengan sesuatu yang tebal saja atau menampakkan bentuk lekuk tubuh …, shalat dalam keadaan seperti itu dimakruhkan dan shalatnya hendaknya diulangi ketika itu.”[4]

Dalam perkataan ini menunjukkan bahwa shalat dalam keadaan pakaian yang ketat (yang membentuk lekuk tubuh) dianggap makruh dan bukan haram.

Madzhab Hambali

Al Bahuti rahimahullah mengatakan,

ولا يعتبر ان لا يصف حجم العضو لأنه لا يمكن التحرز عنه

“Tidak teranggap pernyataan tidak membentuk lekuk tubuh karena ini adalah suatu hal yang sulit dihindari.”[5]

Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,

وَإِنْ كَانَ يَسْتُرُ لَوْنَهَا ، وَيَصِفُ الْخِلْقَةَ ، جَازَتْ الصَّلَاةُ ؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ ، وَإِنْ كَانَ السَّاتِرُ صَفِيقًا

“Jika pakaian tersebut sudah menutupi warna kulit secara sempurna, namun menampakkan bentuk lekuk tubuh (alias ketat, pen), shalatnya tetap sah karena seperti ini sulit dihindari walaupun dengan pakaian yang sempit asalkan menutupi aurat.”[6]

Demikian pendapat para ulama madzhab.

Pendapat Ulama Besar Lainnya

Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,

الواجب من الثياب ما يستر العورة وإن كان الساتر ضيقا يحدد العورة

“Pakaian yang wajib dikenakan (ketika shalat) adalah yang menutupi aurat walaupun dengan pakaian yang sempit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh.”[7]

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah berpendapat bahwa orang yang berpakaian ketat saat shalat, shalatnya tetap sah namun ia berdosa. Beliau mengatakan,

الثياب الضيقة التي تصف أعضاء الجسم وتصف جسم المرأة وعجيزتها وتقاطيع أعضائها لا يجوز لبسها ، والثياب الضيقة لا يجوز لبسها للرجال ولا للنساء ، ولكن النساء أشدّ ؛ لأن الفتنة بهن أشدّ . أما الصلاة في حد ذاتها ؛ إذا صلى الإنسان وعورته مستورة بهذا اللباس ؛ فصلاته في حد ذاتها صحيحة ؛ لوجود ستر العورة ، لكن يأثم من صلى بلباس ضيق ؛ لأنه قد يخل بشيء من شرائع الصلاة لضيق اللباس ، هذا من ناحية ، ومن ناحية ثانية : يكون مدعاة للافتتان وصرف الأنظار إليه ، ولا سيما المرأة ، فيجب عليها أن تستتر بثوب وافٍ واسعٍ ؛ يسترها ، ولا يصف شيئًا من أعضاء جسمها ، ولا يلفت الأنظار إليها ، ولا يكون ثوبًا خفيفًا أو شفافًا ، وإنما يكون ثوبًا ساترًا يستر المرأة سترًا كاملاً

“Pakaian ketat yang masih menampakkan bentuk lekuk tubuh termasuk pada wanita di mana pakaian tersebut tipis dan terpotong pada beberapa bagian, seperti ini tidak boleh dikenakan. Pakaian semacam ini tidak boleh dikenakan pada laki-laki maupun pada wanita, dan pada wanita larangannya lebih keras dikarenakan godaan pada mereka yang lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika seseorang shalat dan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut, maka shalatnya dalam keadaan seperti ini sah karena sudah menutupi aurat. Akan tetapi ia berdosa jika shalat dengan pakaian ketat semacam itu. Alasannya karena ia telah meninggalkan perkara yang disyari’atkan dalam shalat. Alasan lainnya, berpakaian semacam ini dapat memalingkan pandangan orang lain padanya, lebih-lebih lagi pada wanita. Maka hendaklah berpakaian dengan pakaian longgar dan tidak ketat. Janganlah sampai menampakkan bentuk lekuk tubuh sehingga dapat memalingkan pandangan orang lain padanya. Jangan pula memakai pakaian yang tipis. Hendaklah berpakaian yang menutupi aurat dan pada wanita berpakaian dengan menutupi auratnya secara sempurna.”[8]

Penutup

Nukilan-nukilan di atas bukan berarti kami ingin melegalkan pakaian ketat dalam shalat. Pakaian ketat sudah sepatutnya dijauhi ketika bermunajat pada Allah dalam shalat. Karena ini sama saja menafikan perintah untuk berhias diri ketika shalat. Intinya, maksud bahasan di atas adalah apakah shalat dengan pakaian ketat sah ataukah tidak?[9]

Wallahu Ta’ala a’lam. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Wa billahit taufiq. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam.

Finished on 6th Rabi’ul Awwal 1432 H (09/02/2011) at Panggang-GK

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Aurat Wanita di Depan Mahramnya (Bagian 1)

| | Comments: (0)

Aurat Wanita di Depan Mahramnya (Bagian 1)
Aurat adalah kemaluan dan semua hal yang dapat menimbulkan rasa malu apabila terlihat. Aurat merupakan perhiasan yang wajib ditutupi dari orang-orang yang tidak berhak untuk melihatnya dan atau menikmatinya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengingatkan kepada kita bahwa,

الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ، وَبِأَنَّهَا إِذَا خَرَجَتْ مِنْ بَيْتِـهَا اسْتَشْـرَ فَهَا الشَّيْـطَانُ

“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.” (Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi no. 1173, Ibnu Khuzaimah III/95 dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir no. 10115, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)

Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata ketika mengomentari hadits di atas, “Dijadikan diri wanita sebagai aurat karena jika wanita muncul maka ia akan merasa malu, sebagaimana ia merasa malu melihat aurat manakala terbuka. Sehingga dikatakan bahwa maknanya wanita itu memiliki aurat.” (Lihat Tuhfatul Ahwadzi III/237 dan Syarah al-Arba’un al-Uswah no. 32)

Karena itu, kita sebagai kaum wanita haruslah menaruh perhatian yang besar terhadap masalah ini. Hanya saja, Allah ta’ala telah memberikan pengecualian mengenai larangan menampakkan aurat kepada beberapa orang yang menjadi mahram kita. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

وَلاَ يُبْـدِيْنَ زِيْنَتَـهُـنَّ إِلاَّ لِبُعُو لَتِهِنَّ أَو ءَابَآ ئِهِنَّ أَو ءَابَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو أَبْنَآئِهِنَّ أَو أَبْنَآءِ بُعُو لَتِهِنَّ أَو إِخْوَنِهِنَّ أَو بَنِى إِخْوِنِهِنَّ أَو بَنِى أَخَوَتِهِنَّ أَو نِسَآئِهِنَّ أَو مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُنَّ أَوِ التَّبِعِيْنَ غَيْرِ أُولِى الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَو الطِّـفْـلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوْا عَلَى عَوْرَتِ النِّسَآءِ ۖ

“… dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak memiliki keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…” (Qs. An-Nuur: 31)

Kita telah memahami maksud larangan menampakkan perhiasan wanita di depan yang bukan mahramnya, lalu bagaimana maksud dan aplikasi pengecualian ini terhadap orang-orang yang menjadi mahram kita? Adakah batasan aurat yang boleh ditampakkan di depan mahram?

Batasan Aurat (Perhiasan) Wanita yang Boleh Tampak di Depan Mahram

Dari artikel sebelumnya, (Lihatlah Siapa Mahrammu 1, Lihatlah Siapa Mahrammu 2) kita telah mengetahui siapa saja yang termasuk mahram, dan siapa yang tidak termasuk mahram. Dalam surat an-Nuur ayat 31, Allah ta’ala membolehkan mahram melihat bagian-bagian dari perhiasan seorang wanita yang tidak boleh ditampakkan pada laki-laki yang bukan mahram. Hal ini dikarenakan keadaan darurat yang mendorong terjadinya percampur-bauran di antara mereka mengingat adanya hubungan kekerabatan dan amannya mereka (para mahram) dari fitnah. [Lihat Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/157)]

Secara garis besar, ada dua pendapat ulama yang masyhur (populer) tentang batasan yang boleh dilihat oleh mahram, yaitu:

Pendapat pertama: Mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian di antara pusar dan lutut, dan inilah pendapat kebanyakan ulama. [Lihat al-Mabsuuth (X/149), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140), Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/158)]

Pendapat tersebut didasarkan pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا أَنْكَحَ أَحَدُكُمْ عَبْدَهُ أَو أَجِيرَهُ فَلاَ يَنْظُرَنَّ إِلَى شَيْءٍ مِنْ عَورَتِهِ، فَإِنَّ مَا أَسْفَلَ مِنْ سُرَّتِهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ مِنْ عَوْرَتِهِ .

“Jika salah seorang di antara kalian menikahkan hamba sahaya atau pembantunya, maka jangan sekali-kali ia melihat sedikit pun dari auratnya. Karena apa yang ada di bawah pusar hingga lutut adalah aurat.” [Hadits hasan. Riwayat Ahmad (II/187) dan Abu Dawud (no. 495)]

Meskipun jika dilihat dari matan (redaksi) nya, hadits tersebut ditujukan kepada kaum lelaki, namun hadits tersebut berlaku juga bagi kaum wanita karena kaum wanita adalah saudara sekandung/belahan bagi kaum lelaki. Wanita belahan laki-laki maksudnya adalah masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama dalam syariat, termasuk diantaranya adalah batasan aurat, menurut pendapat dia atas.

Diriwayatkan pula dari Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu,

ذَخَلْتُ أَنَا وَأَخُو عَائِشَةَ عَلَى عَائِشَةَ فَسَأَلَهَا أَخُوهَا عَنْ غُسْلِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَدَعَتْ بِإِنَاءٍ نَحْوًا مِنْ صَاعٍ فَاغْتَسَلَتْ وَأَفَاضَتْ عَلَى رَأْ سِهَا وَبَيْنَنَا وَبَيْنَهَا حِجَابٌ .

“Aku dan saudara ‘Aisyah datang kepada ‘Aisyah, lalu saudaranya itu bertanya kepadanya tentang mandi yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas ‘Aisyah meminta wadah yang berisi satu sha’ (air), kemudian ia mandi dan mengucurkan air di atas kepalanya. Sementara antara kami dan beliau ada tabir.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 251) dan Muslim (no. 320)]

Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Yang nampak dari hadits tersebut adalah bahwa keduanya (yakni Abu Salamah dan saudara ‘Aisyah) melihat apa yang dilakukan oleh ‘Aisyah pada kepala dan bagian atas tubuhnya, dimana itu adalah bagian yang boleh dilihat oleh seorang mahram, dan ‘Aisyah adalah bibinya Abu Salamah karena persusuan, sementara ‘Aisyah meletakkan tabir untuk menutupi bagian bawah tubuhnya, karena bagian tersebut adalah bagian yang tidak boleh dilihat oleh mahram.” [Lihat Fat-hul Baari (I/465)]

Sehingga, kesimpulan dari pendapat pertama adalah mahram boleh melihat seluruh tubuh wanita, kecuali bagian antara pusar hingga lutut.

Pendapat kedua: Seorang mahram hanya boleh melihat anggota tubuh wanita yang biasa nampak, seperti anggota-anggota tubuh yang terkena air wudhu’. [Lihat Sunan al-Baihaqi (no. 9417), al-Inshaaf (VIII/20), al-Mughni (VI/554), al-Majmuu' Fataawaa Ibn Taimiyah (XVI/140) dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (II/159)]

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, “Dahulu kaum lelaki dan wanita pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan wudhu’ secara bersamaan.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 193), Abu Dawud (no. 79), an-Nasa'i (I/57) dan Ibnu Majah (no. 381)]

Hadits di atas difahami sebagai suatu keadaan yang terjadi khusus bagi para istri dan mahram, di mana mahram boleh melihat anggota wudhu’ para wanita. [Lihat Fat-hul Baari (I/465), 'Aunul Ma'bud (I/147) dan Jaami' Ahkaamin Nisaa' (IV/195)]

Kesimpulan dari pendapat kedua adalah bahwa mahram hanya diperbolehkan untuk melihat anggota wudhu’ seorang wanita.

***
artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:

* Ensiklopedi Fiqh Wanita, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, cet. Pustaka Ibnu Katsir
* Fataawaa an-Nisaa’ (Edisi Terjemah), Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ta’liq: Muhammad Muhammad Amir, cet. Ailah
* Fat-hul Baari bi Syarh Shahiih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-Asqalani, cet. Daar al-Hadits
* Fatwa-Fatwa Tentang Wanita, Lajnah ad-Daimah lil Ifta’, cet. Darul Haq
* Jilbab Wanita Muslimah Menurut al-Qur’an dan as-Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. Pustaka at-Tibyan
* Panduan Lengkap Nikah Dari A Sampai Z, Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq, cet. Pustaka Ibnu Katsir
* Syarah al-Arba’uun al-Uswah Min al-Ahaadiits al-Waaridah fii an-Niswah, Manshur bin Hasan al-Abdullah, cet. Daar al-Furqan

MENGHIDUPKAN SUNNAH NABI YANG KIAN TERASING

| | Comments: (0)

MENGHIDUPKAN SUNNAH NABI YANG KIAN TERASING
Penulis : Ustadz Qomar Suaidi

MAKNA SUNNAH NABI
Sunnah secara bahasa adalah jalan atau cara, sehingga sunnah nabi secara bahasa yaitu jalan atau cara nabi di dalam perkara agama.
Ibnu Rajab dalam kitab Jami’ul ‘Ulum wal Hikam menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan As Sunnah pada asalnya adalah jalan yang ditempuh, dan itu meliputi sikap berpegang teguh dengan apa yang dijalani oleh Nabi dan para khalifahnya baik keyakinan, amalan, maupun ucapan. Dan inilah makna As Sunnah secara sempurna.
Itulah yang kami maksud dengan As Sunnah dalam pembahasan ini, sehingga kami tidak terpaku pada istilah Sunnah menurut ahli fikih atau sunnah menurut ahli ushul fikih atau Sunnah dalam arti akidah, tetapi mencakup itu semua.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Nabi:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ …
“Wajib atas kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para Al Khulafaa’ Ar Rasyidiin …” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud, At Tirmidzi dari hadits Al Irbadh bin Sariyah, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no: 2549)
PERINTAH MEMULIAKAN SUNNAH
Sunnah Nabi, sebuah istilah yang kerap kita mendengar dan mengucapkannya. Karena memang ia merupakan landasan hidup kita sebagai penganut ajaran Islam. Kita semua sepakat untuk menjunjung tinggi dan mengagungkan Sunnah dan bersepakat pula bahwa yang merendahkannya berarti menghinakan Islam dan ajaran Nabi.
Namun jika kita menengok realita yang ada, apa yang dilakukan kaum muslimin dalam menyikapi Sunnah Nabi nampaknya sudah jauh dari yang semestinya. Bahkan keadaannya sangat parah. Tidak tanggung-tanggung, di antara mereka ada yang menolak dengan terang-terangan Sunnah yang tidak mutawatir dan mengatakan hadits ahad bukan hujjah (dalil) dalam masalah akidah.
Ada pula yang menolak dan mengingkari Sunnah Nabi secara total dengan berkedok mengikuti Al Qur’an saja. Padahal Al Qur’an tidak mungkin dipisahkan dari Sunnah. Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa saja yang datang dari Nabi (Sunnahnya).
Al Imam Abu Qilabah berkata: “Jika kamu ajak bicara seseorang dengan menyebutkan Sunnah kepadanya lalu dia mengatakan: ‘Tinggalkan kami dari ini (penyebutan sunnah) dan sebutkan (pada kami) Kitabullah (Al Qur’an saja).’ Maka ketahuilah bahwa dia adalah orang yang sesat.”(Lihat kitabTabaqat Ibni Sa’ad, 7/184, Ta’dhimus Sunnah, 25)
Bentuk yang lebih parah dari ‘sekedar’ menolak adalah mengolok-olok Sunnah dan orang-orang yang mencoba berjalan di atasnya. Ada pula yang dengan terang-terangan menolak hadits Nabi karena dinilai tidak sesuai dengan akal atau realita zaman (menurut apa yang dia sangka).
Sangat disayangkan sikap-sikap seperti ini justru sering dimiliki oleh orang-orang yang terjun ke kancah dakwah. Padahal lisan mereka juga mengatakan bahwa kita wajib mengagungkan Sunnah.
Mengagungkan Sunnah adalah perkara yang besar dan bukan sekedar isapan jempol. Ia butuh bukti nyata dan praktek dalam kehidupan. Namun kini keadaannya justru sebaliknya, banyak orang menolaknya, banyak orang mengabaikannya bahkan mengolok-ngoloknya.
Padahal Allah ? berfirman (artinya):
“Dan apa yang diperintahkan Rasul kepada kalian maka lakukanlah sedang apa yang beliau larang darinya maka berhentilah.” (Al Hasyr: 7)
“Barangsiapa yang menaati Rasul berarti ia telah menaati Allah.” (An Nisa’: 80)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)
Ketiga ayat ini menunjukkan secara tegas bagaimana semestinya kita menempatkan Sunnah Nabi, yakni wajib mengambilnya dan merupakan keharusan yang tidak ada tawar-menawar lagi. Kemudian menjadikan Sunnah tersebut sebagai pedoman dalam melangkah dan melakukan ketaatan kepada Allah. Oleh karena itu Allah jadikan Nabi-Nya sebagai penjelas dan penjabar Al Qur’an bukan sekedar menyampaikan atau membacakannya secara lafadz saja, sebagaimana dalam firman-Nya:
“Dan kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An-Nahl: 44)
Demikian pula Rasulullah ? bersabda:
‘Saya wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pimpinan, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak karena sesungguhnya barangsiapa yang hidup sepeninggalku ia akan melihat perbedaan yang banyak, maka disaat seperti itu wajib atas kalian bepegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah para Al Khulafa’ Ar Rasyidin, gigitlah dengan gigi-gigi geraham kalian dan jauhilah perkara-perkara yang baru (bid’ah) karena sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (Shahih, HR Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi dari hadits Al Irbadh bin Sariyah, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’, no: 2549)
LARANGAN MENINGGALKAN SUNNAH NABI
Abu Bakar Ash Shiddiq ? mengatakan: “Tidaklah suatu amalan pun yang dilakukan oleh Rasulullah kecuali pasti saya juga melakukannya dan saya takut jika saya tinggalkan sesuatu darinya lalu saya sesat.”
Wahai saudaraku… Orang yang paling jujur (Abu Bakar) khawatir terhadap dirinya untuk tersesat jika menyelisihi sesuatu dari jalan Nabi. Maka bagaimana jadinya dengan sebuah jaman yang penduduknya mengolok-olok Nabi mereka dan perintah-perintahnya bahkan berbangga dengan menyelisihi dan mengolok-oloknya.
Maka sangat mengherankan kalau seseorang tahu Sunnah lalu meninggalkannya dan mengambil pendapat yang lain sebagaimana dialami oleh Al Imam Ahmad: “Saya merasa heran terhadap sebuah kaum yang tahu sanad hadits dan keshahihannya kemudian memilih pendapat Sufyan (maksudnya Sufyan Ats Tsauri-red) padahal Allah ? berfirman: Maka hendaklah berhati-hati orang yang menyelisihi perintah Rasul-Nya untuk tertimpa fitnah atau tertimpa adzab yang pedih (An-Nur: 63). Tahukah kalian apa arti fitnah? Fitnah adalah syirik.” (Fathul Majid, 466).
Demikian pula suatu saat Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah ditanya tentang sebuah masalah maka beliau mengatakan bahwa dalam masalah ini diriwayatkan demikian dan demikian dari Nabi. Maka si penanya mengatakan: “Wahai Al Imam Asy Syafi’i, apakah engkau berpendapat sesuai dengan hadits itu?” Maka beliau langsung gemetar lalu mengatakan: “Wahai, bumi mana yang akan membawaku dan langit mana yang akan menaungiku, jika aku riwayatkan hadits dari Nabi kemudian aku tidak memakainya?! Tentu, hadits itu di atas pendengaran dan penglihatanku (yang aku junjung tinggi).” (Shifatus Shafwah, 2/256, Ta’dhimus Sunnah, 28).
Dalam kesempatan lain beliau ditanya dengan pertanyaan yang mirip lalu beliau gemetar dan menjawab: “Apakah engkau melihat aku seorang Nasrani? Apakah kau melihat aku keluar dari gereja? Ataukah engkau melihat aku memakai ikat di tengah badanku (yang biasa orang Nasrani memakainya-red)? Saya meriwayatkan hadits dari Nabi lalu saya tidak mengambilnya sebagai pendapat saya?!” (Miftahul Jannah, 6)
PAHALA BAGI ORANG YANG BERPEGANG DENGAN SUNNAH NABI
Rasulullah ? bersabda:
“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari kesabaran, kesabaran di hari itu seperti menggenggam bara api, bagi yang beramal (dengan Sunnah Nabi) pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh.” Seseorang bertanya: “Limapuluh dari mereka wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab: “Pahala limapuluh dari kalian.” (Shahih, HR Abu Dawud, At Tirmidzi lihat Silsilah Ash Shahihah no. 494)
JAMINAN BAGI ORANG YANG BERPEGANG TEGUH DENGAN SUNNAH NABI
Selama seseorang berada di atas Sunnah Nabi maka dia tetap berada di atas istiqamah. Sebaliknya, jika tidak demikian berarti ia telah melenceng dari jalan yang lurus sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Umar: “Manusia tetap berada di atas jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi.” ( Riwayat Al Baihaqi, lihat Miftahul Jannah no.197). ‘Urwah mengatakan: “Mengikuti Sunnah-Sunnah Nabi adalah tonggak penegak agama.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no: 198)
Seorang tabi’in bernama Ibnu Sirin mengatakan: “Dahulu mereka mengatakan: selama seseorang berada di atas jejak Nabi maka dia berada di atas jalan yang lurus.” (Riwayat Al Baihaqi, Miftahul Jannah no. 200)
Oleh karena itu, Allah berfirman:
وَإِنْ تُطِيْعُوهُ تَهْتَدُوا
“Dan jika kalian menaatinya niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” (An-Nur: 54)
Wallahu ‘A’lam bish Showab

Valentine's Day???

| | Comments: (0)

Valentine's Day???
Ketahuilah saudariku, tidak ada pilihan lain bagi kita kecuali meninggalkan jauh-jauh kebiasaan turut serta merayakan hari Valentine ini. Apakah kita hendak turut serta pada acara yang ditetapkan oleh Nasrani untuk mengkultuskan sang uskup yang mati sebagai martir? Padahal kita ketahui orang-orang Nasrani tidak akan senang sampai kita mengikuti agama mereka. Maka senanglah mereka ketika kita turut berbaur dalam hari raya mereka. Karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk kaum tersebut.” (HR. Abu Dawud). Atau… apakah kita hendak mendukung pula upacara Lupercalia yang penuh muatan syirik dan kemaksiatan? Na’udzubillah mindzalik.

Cukupkanlah diri kita dengan apa yang telah diturunkan Allah dalam Al-Qur’an dan yang diajarkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya. Karena kasih sayang di antara sesama muslim jauh lebih indah dimana Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Perumpamaan orang mukmin di dalam saling mencintai, saling mengaishi dan saling menyayangi adalah bagaikan satu jasad, jika salah satu anggotanya menderita sakit maka seluruh jasad merasakan (penderitaannya) dengan tidak bisa tidur dan merasa panas.” (HR. Bukhari dan Muslim). Maka engkau tidak perlu ragu-ragu untuk meninggalkan hari raya tersebut. Bertaubat adalah langkah yang utama dan mulia jika ternyata di hari yang lalu kita menjadi bagian dari perayaan tersebut. Semoga kita terus diberikan hidayah taufik oleh Allah untuk menjalankan amalan sesuai tuntunan syari’at. Aamiin.

Maraji’:

1. Majalah As Sunnah edisi 11 tahun I.
2. Riyadush Shalihin – edisi Indonesia – karya Imam Nawawi jilid 1. Takhrij Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Duta Ilmu.

***

MEMBUAT EMBEL-EMBEL NAMA "AS SALAFY" ATAU AL ATSARI adalah TIDAK BERDASAR!!

| | Comments: (0)

MEMBUAT EMBEL-EMBEL NAMA "AS SALAFY" ATAU AL ATSARI adalah TIDAK BERDASAR!!
Fatwa Syaikh Shalih Al-Fauzan:

Salaf adalah Hizbullah Yang Beruntung, Adapun Penamaan Dengan As-Salafi Atau Al-Atsari Tidak Ada Asal Usulnya
Seseorang bertanya, “Wahai Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan—semoga Allah senantiasa
memberikan taufiknya kepada Anda, kami mendengar sebagian orang
mengatakan, ‘Tidak boleh intisab “menyandarkan diri” pada salaf dan
Salafiyyah dianggap sebagai salah satu hizb ‘golongan’ yang hidup pada
masa tertentu.’ Apa pendapat Anda mengenai pernyataan ini?”

Sayikh
Shalih AL-Fauzan menjawab, “Iya! Salaf adalah hizbullah ‘golongan
Allah’. Salaf adalah golongan, akan tetapi ia adalah hizbullah. Allah
berfirman:
“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa
sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung”.
(Al-Mujadillah [58]: 22)

Barangsiapa menyelisihi salaf, maka
mereka adalah golongan-golongan sesat lagi meyimpang. Golongan itu
sendiri bermacam-macam. Ada golongan Allah (hizbullah) dan ada golongan
setan (hizbusy syaithan) sebagaimana tercantum di akhir surat
Al-Mujadilah. Ada hizbullah dan ada hizbusy syaithan. Golongan pun
beragam. Barangsiapa berada di atas manhaj Al-Kitab dan As-Sunnah, maka
dia adalah hizbullah. Sebaliknya, barangsiapa berada di atas manhaj
sesat, maka dia adalah hizbusy syaithan. Engkau tinggal memilih; mau
menjadi hizbullah atau menjadi hizbusy syaithan! Pilih sendiri!”

Kemudian
Syaikh Hafizhuhullah ditanya, “Wahai Syaikh—semoga Allah senantiasa
memberikan taufiknya kepada Anda, sebagian orang mengembel-embeli di
belakang namanya dengan As-Salafi atau Al-Atsari. Apakah ini termasuk
bentuk penyucian terhadap diri sendiri? Atau apakah memang sesuai dengan
syariat?”

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhuhullah menjawab, “Yang
wajib adalah seseorang mengikuti kebenaran. Yang wajib adalah seseorrang
mengkaji dan mencari kebenaran serta mengamalkannya. Adapun dia menamai
dirinya dengan As-Salafi atau Al-Atsari dan yang semisal, maka tidak ada
alasan untuk dapat mengklaim dengan nama ini.

Allah Yang Maha
Mengetahui berfirman:
“Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kamu akan
memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah
mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Al-Hujurat [49]: 16)

Menamakan
diri dengan As-Salafi, Al-Atsari, dan yang semisal adalah tidak ada
asal-usulnya. Kita melihat pada substansi nyata; bukan perkataan,
penamaan diri, maupun pengakuan.

Terkadang, seseorang mengatakan
kepada orang lain, ‘Ia salafi’, padahal orang tersebut bukan salafi
(pengikut manhaj salaf). Atau juga mengatakan, ‘Ia atsari’, padahal
orang yang ditunjuk bukan atsari (pengikut atsar salaf). Sebaliknya,
seseorang adalah salafi (pengikut manhaj salaf) dan atsari (pengikut
atsar salaf), namun tidak mengatakan, “Aku ini atsari, Aku ini salafi.’
Hendaknya kita melihat pada substansi nyata; bukan pada penamaan maupun
klaim pengakuan.

Seorang muslim harus komitment dengan adab
terhadap Allah swt. Tatkala orang-orang Arab Badui mengatakan, ‘Kami
telah beriman!’ Allah mengingkari mereka. Allah berfirman:

“Orang-orang
Arab Badui itu berkata, ‘Kami telah beriman’. Katakanlah (kepada
mereka), ‘Kamu belum beriman’, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk’.”
(Al-Hujurat [49]: 14)

Allah mengingkari orang-orang Arab Badui
yang menyifati diri mereka sebagai orang beriman. Padahal, mereka belum
sampai pada tingkatan beriman. Mereka baru saja masuk Islam; itu pun
masih diliputi keraguan.

Orang-orang Arab Badui itu datang dari
pedusunan. Mereka menganggap diri mereka sudah lama menjadi orang
beriman. Padahal tidak! Mereka baru saja masuk Islam. Apabila mereka
melanjutkan keislaman mereka dan mau belajar, maka keimanan pun akan
masuk ke dalam hati mereka sedikit demi sedikit. Allah berfirman:

“Padahal
iman itu belum masuk ke dalam hati kalian.” (Al-Hujurat [49]: 14)

Kata
lamma “belum” menunjukkan sesuatu yang masih menjadi harapan.
Maksudnya, iman baru akan masuk tapi engkau sudah menganggap beriman
dari pertama kali sebagai bentuk penyucian terhadap diri sendiri. Maka,
tidak perlu engkau mengatakan, ‘Aku salafi! Aku atsari! Aku begini dan
begini!’ Hendaklah engkau mencari kebenaran dan mengamalkannya. Perbaiki
niatmu! Allah-lah Yang Maha Mengetahui substansi nyatanya.”


Teks
Arab:

قول فضيلة الشيخ -وفقكم الله- نسمع بعض الناس يقولون:
لا يجوز الانتساب إلى السلف ، ويَعد السلفية حزب من الأحزاب القائمة في الوقت
الحالي، فما رأيكم بهذا الكلام؟ فأجاب فضيلة الشيخ صالح الفوزان – حفظه الله-: نعم السلف حزب الله ، السلف حزب؛
لكنهم حزب الله، الله -جل وعلا- يقول:((أولئك حزب الله ألا إن حزب الله هم
المفلحون )). السلف
انحازوا إلى الكتاب والسنة وإلى الصحابة فصاروا حزب الله، وأما من خالفهم
فهم أحزاب ضالة مخالفة.. الأحزاب تختلف هناك حزب الله ، وهناك حزب الشيطان، كما في آخر
سورة ( المجادلة) ، هناك حزب الله،وهناك حزب الشيطان.ز فالأحزاب تختلف. فمن كان على منهج الكتاب والسنة؛
فهو حزب الله. ومن
كان على منهج الضلال؛ فهو حزب الشيطان. وأنت تَخيّر، تكون من حزب الله، أو
تكون من حزب الشيطان! تَخيّر!! ثم
سُئل حفظه الله: يقول
فضيلة الشيخ – وفقكم الله-: بعض الناس يختم اسمه بـ (السلفي) أو (الأثري)، فهل هذا
من تزكية النفس ؟ أو هو موافق الشرع؟ فأجاب- حفظه الله-: المطلوب أن الإنسان يتبع الحق..
المطلوب أن الإنسان يبحث عن الحق.. ويطلب الحق ويعمل به..أما أنه يُسمى بـ (
السلفي) أو ( الأثري) أو ما أشبه ذلك فلا داعي لهذا.. الله يعلم – سبحانه وتعالى- (( قل
أتعلمون الله بدينكم والله يعلم ما في السماوات وما في الأرض والله بكل شيء
عليم)). فالتسمي
( سلفي ) ( أثري) أوما أشبه ذلك، هذا لا أصل له ، نحن ننظر إلى الحقيقة ،
ولا ننظر إلى القول والتسمي والدعاوى .. قد يقول إنه (سلفي) وما هو بسلفي
،،( أثري) وما هو بأثري.. وقد يكون سلفياً وأثرياً وهو ما قال أني أثري ولا سلفي.. فالنظر إلى الحقائق ، لا إلى
المسميات، ولا إلى الدعاوى.. وعلى المسلم أنه يلزم الأدب مع الله – سبحانه وتعالى-.
لما قالت
الأعراب آمنا ، أنكر الله عليهم: (( قالت الأعراب آمنا قل لم تؤمنوا ولكن
قولوا أسلمنا )) ..
الله أنكر عليهم أنهم يصفون أنفسهم بالإيمان ، وهم ما بعد وصلوا إلى
هالمرتبة، توهم داخلين في الإسلام.. أعراب جايين من البادية.. وادعوا
أنهم صاروا مؤمنين على طول! لا .. أسلَموا دخلوا في الإسلام ، وإذا استمروا وتعلموا دخل الإيمان
في قلوبهم شيئاً فشيئاً : (( ولما يدخل الإيمان في قلوبكم)).. وكلمة ( لمّا) للشيء الذي يُتوقع ،
يعني سيدخل الإيمان، لكن أنك تدعيه من أول مرة تزكية للنفس.. فلا حاجة إلى أنك تقول أنا (سلفي)
.. أنا ( أثري) أنا كذا.. أنا كذا.. عليك أن تطلب الحق وتعمل به ..
تُصلح النية .. والله هو الذي يعلم – سبحانه- الحقائق.
Sumber
http://www.islamgold.com/view.php?gid=2&rid=89

PELAJARAN YG SANGAT BERHARGA

| | Comments: (0)

PELAJARAN YG SANGAT BERHARGA
Suami itu....................?



Bismillah.. Copas dari sebuah artikel/catatan d facebook, membuat tersadar akan kodrat wanita.

Semoga bisa diambil manfaatnya oleh saudari-saudari muslimahku..



Sore itu,, menunggu kedatangan teman yang akan menjemputku di masjid ini seusai ashar.. seorang akhwat datang, tersenyum dan duduk disampingku, mengucapkan salam, sambil berkenalan dan sampai pula pada pertanyaan itu. “anty sudah menikah?”. “Belum mbak”, jawabku. Kemudian akhwat itu .bertanya lagi “kenapa?” hanya bisa ku jawab dengan senyuman.. ingin ku jawab karena masih kuliah, tapi rasanya itu bukan alasan.

“mbak menunggu siapa?” aku mencoba bertanya. “nunggu suami” jawabnya. Aku melihat kesamping kirinya, sebuah tas laptop dan sebuah tas besar lagi yang tak bisa kutebak apa isinya. Dalam hati bertanya-tanya, dari mana mbak ini? Sepertinya wanita karir. Akhirnya kuberanikan juga untuk bertanya

“mbak kerja dimana?”, ntahlah keyakinan apa yg meyakiniku bahwa mbak ini seorang pekerja, padahal setahu ku, akhwat2 seperti ini kebanyakan hanya mengabdi sebagai ibu rumah tangga.

“Alhamdulillah 2 jam yang lalu saya resmi tidak bekerja lagi” , jawabnya dengan wajah yang aneh menurutku, wajah yang bersinar dengan ketulusan hati.

“kenapa?” tanyaku lagi.

Dia hanya tersenyum dan menjawab “karena inilah cara satu cara yang bisa membuat saya lebih hormat pada suami” jawabnya tegas.

Aku berfikir sejenak, apa hubungannya? Heran. Lagi-lagi dia hanya trsenyum.



Ukhty, boleh saya cerita sedikit? Dan saya berharap ini bisa menjadi pelajaran berharga buat kita para wanita yang Insya Allah akan didatangi oleh ikhwan yang sangat mencintai akhirat.

“saya bekerja di kantor, mungkin tak perlu saya sebutkan nama kantornya. Gaji saya 7juta/bulan. Suami saya bekerja sebagai penjual roti bakar di pagi hari, es cendol di siang hari. Kami menikah baru 3 bulan, dan kemarinlah untuk pertama kalinya saya menangis karena merasa durhaka padanya.



Waktu itu jam 7 malam, suami baru menjemput saya dari kantor, hari ini lembur, biasanya sore jam 3 sudah pulang. Saya capek sekali ukhty. Saat itu juga suami masuk angin dan kepalanya pusing. Dan parahnya saya juga lagi pusing . Suami minta diambilkan air minum, tapi saya malah berkata, “abi,umi pusing nih, ambil sendiri lah”.

Pusing membuat saya tertidur hingga lupa sholat isya. Jam 23.30 saya terbangun dan cepat-cepat sholat, Alhamdulillah pusing pun telah hilang. Beranjak dari sajadah, saya melihat suami saya tidur dengan pulasnya. Menuju ke dapur, saya liat semua piring sudah bersih tercuci. Siapa lagi yang bukan mencucinya kalo bukan suami saya? Terlihat lagi semua baju kotor telah di cuci. Astagfirullah, kenapa abi mengerjakan semua ini? Bukankah abi juga pusing tadi malam? Saya segera masuk lagi ke kamar, berharap abi sadar dan mau menjelaskannya, tapi rasanya abi terlalu lelah, hingga tak sadar juga. Rasa iba mulai memenuhi jiwa saya, saya pegang wajah suami saya itu, ya Allah panas sekali pipinya, keningnya, Masya Allah, abi deman, tinggi sekali panasnya. Saya teringat atas perkataan terakhir saya pada suami tadi. Hanya disuruh mengambilkan air minum saja, saya membantahnya. Air mata ini menetes, betapa selama ini saya terlalu sibuk diluar rumah, tidak memperhatikan hak suami saya.”



Subhanallah, aku melihat mbak ini cerita dengan semangatnya, membuta hati ini merinding. Dan kulihat juga ada tetesan air mata yg di usapnya.



“anty tau berapa gaji suami saya? Sangat berbeda jauh dengan gaji saya. Sekitar 600-700rb/bulan. 10x lipat dari gaji saya. Dan malam itu saya benar-benar merasa durhaka pada suami saya. Dengan gaji yang saya miliki, saya merasa tak perlu meminta nafkah pada suami, meskipun suami selalu memberikan hasil jualannya itu pada saya, dan setiap kali memberikan hasil jualannya , ia selalu berkata “umi,,ini ada titipan rezeki dari Allah. Di ambil ya. Buat keperluan kita. Dan tidak banyak jumlahnya, mudah2an umi ridho”, begitu katanya. Kenapa baru sekarang saya merasakan dalamnya kata-kata itu. Betapa harta ini membuat saya sombong pada nafkah yang diberikan suami saya”, lanjutnya

“Alhamdulillah saya sekarang memutuskan untuk berhenti bekerja, mudah-mudahan dengan jalan ini, saya lebih bisa menghargai nafkah yang diberikan suami. Wanita itu begitu susah menjaga harta, dan karena harta juga wanita sering lupa kodratnya, dan gampang menyepelehkan suami.” Lantutnya lagi, tak memberikan kesempatan bagiku untuk berbicara.



“beberapa hari yang lalu, saya berkunjung ke rumah orang tua, dan menceritakan niat saya ini. Saya sedih, karena orang tua, dan saudara-saudara saya tidak ada yang mendukung niat saya untuk berhenti berkerja . Malah mereka membanding-bandingkan pekerjaan suami saya dengan orang lain.”



Aku masih terdiam, bisu, mendengar keluh kesahnya. Subhanallah,,apa aku bisa seperti dia? Menerima sosok pangeran apa adanya, bahkan rela meninggalkan pekerjaan.



“kak, kita itu harus memikirkan masa depan. Kita kerja juga untuk anak-anak kita kak. Biaya hidup sekarang ini besar. Begitu banyak orang yang butuh pekerjaan. Nah kakak malah pengen berhenti kerja. Suami kakak pun penghasilannya kurang. Mending kalo suami kakak pengusaha kaya, bolehlah kita santai-santai aja di rumah. Salah kakak juga sih, kalo ma jadi ibu rumah tangga, seharusnya nikah sama yang kaya. Sama dokter muda itu yang berniat melamar kakak duluan sebelum sama yang ini. Tapi kakak lebih milih nikah sama orang yang belum jelas pekerjaannya. Dari 4 orang anak bapak, Cuma suami kakak yang tidak punya penghasilan tetap dan yang paling buat kami kesal, sepertinya suami kakak itu lebih suka hidup seperti ini, ditawarin kerja di bank oleh saudara sendiri yang ingin membantupun tak mau, sampai heran aku, apa maunya suami kakak itu”. Ceritanya kembali, menceritakan ucapan adik perempuannya saat dimintai pendapat.



“anty tau, saya hanya bisa nangis saat itu. Saya menangis bukan Karena apa yang dikatakan adik saya itu benar, bukan karena itu. Tapi saya menangis karena imam saya dipandang rendah olehnya. Bagaimana mungkin dia maremehkan setiap tetes keringat suami saya, padahal dengan tetesan keringat itu, Allah memandangnya mulia. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang senantiasa membanguni saya untuk sujud dimalam hari. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang dengan kata-kata lembutnya selalu menenangkan hati saya. Bagaimana mungkin dia menghina orang yang berani datang pada orang tua saya untuk melamar saya, padahal saat itu orang tersebut belum mempunyai pekerjaan.



Bagaimana mungkin seseorang yang begitu saya muliakan, ternyata begitu rendah dihadapannya hanya karena sebuah pekerjaaan. Saya memutuskan berhenti bekerja, karena tak ingin melihat orang membanding-bandingkan gaji saya dengan gaji suami saya. Saya memutuskan berhenti bekerja juga untuk menghargai nafkah yang diberikan suami saya. Saya juga memutuskan berhenti bekerja untuk memenuhi hak-hak suami saya. Semoga saya tak lagi membantah perintah suami. Semoga saya juga ridho atas besarnya nafkah itu. Saya bangga ukhti dengan pekerjaan suami saya, sangat bangga, bahkan begitu menghormati pekerjaannya, karena tak semua orang punya keberanian dengan pekerjaan itu. Kebanyakan orang lebih memilih jadi pengangguran dari pada melakukan pekerjaan yang seperti itu. Tapi lihatlah suami saya, tak ada rasa malu baginya untuk menafkahi istri dengan nafkah yang halal. Itulah yang membuat saya begitu bangga pada suami saya. Semoga jika anty mendapatkan suami seperti saya, anty tak perlu malu untuk menceritakannya pekerjaan suami anty pada orang lain. Bukan masalah pekerjaannya ukhty, tapi masalah halalnya, berkahnya, dan kita memohon pada Allah, semoga Allah menjauhkan suami kita dari rizki yang haram”. Ucapnya terakhir, sambil tersenyum manis padaku. Mengambil tas laptopnya,, bergegas ingin meninggalkannku. Kulihat dari kejauhan seorang ikhwan dengan menggunakan sepeda motor butut mendekat ke arah kami, wajahnya ditutupi kaca helm, meskipun tak ada niatku menatap mukanya. Sambil mengucapkan salam, meninggalkannku. Wajah itu tenang sekali, wajah seorang istri yang begitu ridho.



Ya Allah….

Sekarang giliran aku yang menangis. Hari ini aku dapat pelajaran paling baik dalam hidupku.

Pelajaran yang membuatu menghapus sosok pangeran kaya yang ada dalam benakku..



Subhanallah..



semoga,,pekerjaan,, harta tak pernah menghalangimu untuk tidak menerima pinangan dari laki-laki yang baik agamanya.



oleh Lay Rumaisha